BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hierarki
adalah penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan
pada dasar bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak bisa
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Kekuatan
hukum peraturan perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarkinya. Hierarki maksudnya peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
Undang-Undang Dasar 1945 ditetapkan
dan disahkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang terdiri dari
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Anggota Dewan Perwakilan Daerah
(DPD).Materi muatan UUD 1945 meliputi jaminan hak asasi manusia bagi setiap
warga negara, prinsip-prinsip dan dasar negara, tujuan negara dan sebagainya.
Peraturan
hukum dalam pengertian tertib hukum merupakan kesatuan keseluruhan serta
mempunyai susunan bertingkat atau berjenjang. Bahwa peraturan hukum yang banyak
jumlahnya merupakan suatu sistem, karena peraturan hukum yang satu (lebih
tinggi) merupakan dasar kekuatan mengikatnya peraturan yang lain (yang lebih
rendah). Demikian bertingkat-tingkat dan berjenjang-jenjang. Demikian menurut
Hans Kelsen yang juga dikenal dengan Stufenbau des Recht. Agar peraturan hukum
mempunyai dasar kekuatan mengikat, harus ada rujukan pembentukan peraturan
hukum sampai pada tingkat paling tinggi, yaitu norma dasar. Tanpa adanya
susunan bertingkat atau berjenjang, maka peraturan hukum tidak mengandung
tertib hukum.
UU
No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan memberikan
semangat baru dalam membentuk karakter para pembentuk peraturan
perundang-undangan, karena memberikan arahan dan muatan yang seharusnya
bagaimana peraturan hukum dibentuk. UU No. 10 Tahun 2004 juga tidak sempurna,
karena kadang tidak konsisten sebagai suatu keharusan dalam bentuk peraturan
hukum, maka digantikan dengan UU No. 12 Tahun 2011, yang dalam Pasal 7 ayat (1)
tampil beda dengan mencantumkan kembali ketetapan MPR sebagai bagian dari jenis
dan hierarki peraturan perundang-undangan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Definisi atau pengertian Hierarki
Perundang – undangan,
2.
Susunan Hierarki Perundang – undangan,
3.
Perundang – undangan Kehutanan.
C.
Maksud Dan
Tujuan
1.
Agar mengetahui pengertian dari Hierarki
Perundang – undangan ,
2.
Agar mengetahui susunan Hierarki
Perundang – undangan ,
3.
Agar mengetahui undang – undang tentang
hutan dan kehutanan menurut pasal.
D.
Manfaat
1.
Memahami arti hierarki sebagai peraturan
perundang – undangan,
2.
Menjadi ulasan metode Hierarki,
3.
Sebagai topik bahasan tentang pasal
kehutanan atau tentang hutan.
E. Metode Penulisan
Penyusun
menggunakan ide pemikiran sendiri dan menggambil referensi dari buku
perpustakaan Banjarbaru serta mendownload artikel dari web.
BAB
II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengertian dari peraturan perundang-undangan diatur
dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (“UU 12/2011”) adalah peraturan tertulis yang memuat norma
hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga
negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam
Peraturan Perundang-undangan.
2.
Sedangkan,
pengertian undang-undang adalah
Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
dengan persetujuan bersama Presiden (Pasal
1 angka 3 UU 12/2011).
3. Dalam
teori hierarki, validasi suatu norma harus dapat dirujuk pada norma di atasnya,
karena hierarki adalah sistem berjenjang atau bertingkat dari yang rendah
sampai dengan yang tertinggi.
Buku Hans Kelsen, Teori Umum Tentang
Hukum dan Negara, diterjemahkan dari buku Hans Kelsen General Theory of Law and
State (New York Russel & Russel, 1971), Penerbit Nusa Media Bandung 2010.
Hans Kelsen, Introduction to the problems of Legal Theory, Clarendon Press Oxford,1996.
4. Undang-undang (“UU”) adalah termasuk
salah satu jenis peraturan perundang-undangan. Selain UU, menurut ketentuan UU
12/2011, Undang-Undang Dasar 1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), Peraturan Presiden
(Perpres), Peraturan Daerah Provinsi (Perda Provinsi), dan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota juga termasuk kategori peraturan perundang-undangan.
Menurut
Bagir Manan sebagaimana dikutip oleh Maria Farida Indrati Soeprapto
dalam buku Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi Materi dan Muatan
(hal. 10-11).
BAB
III
ISI
A.
Definisi Hierarki
Perundang – Undangan
Hierarki peraturan perundang-undangan adalah urutan
sistematis peraturan perundang-undangan dari yang tertinggi hingga terandah.
Peraturan yang lebih tinggi menjadi sumber dan dasar peraturan-peraturan
dibawahnya. Setiap peraturan tidak boleh bertentangan dengan peraturan
diatasnya.
Dalam sistem hierarki ini dikenal Stufen Theory
yang secara sistematis mengurutkan peraturan perundang-undangan dari yang
tertinggi. Penerapan teori ini dalam Peraturan perundang-undangan Indonesia
adalah sebagai berikut:
© Pancasila
Kedudukan Pancasila dalam hirarki ini berada di tingkat
teratas. artinya, pancasila merupakan sumber dari segala peraturan hukum
di Indonesia.
©
UUD '45
Undang-Undang Dasar 1945 yang telah
4 kali diamandemen berada dibawah pancasila. Sebagai konstitusi negara,
UUD '45 bersumber dari Pancasila dan bersifat umum.
© Undang-Undang/Perpu
Undang-Undang merupakan aturan pelaksana
undang-undang dasar masih bersifat umum akan tetapi sudah
terkonsentrasi pada satu pokok pengaturan. aturan-aturan ini tidak boleh
bertentangan dengan Undang-undang Dasar. contoh: Undang-Undang No.1 tahun 1974
tentang Perkawinan.
Dalam hal mendesak suatu Undang-Undang tidak diberlakukan
atau dicabut dan belum ada penggantinya, diberlakukanlah Peraturan pemerintah
pengganti undang-undang (Perpu) untuk menghindari kekosongan hukum.
UU tidak boleh bertentangan dengan UUD '45, dalam hal ini
dipertegas oleh Mahkamah Konstitusi yang bertugas mengawal UUD '45.
© Peraturan Pemerintah ( PP )
Peraturan Pemerintah (PP) merupakan
aturan pelaksana undang-undang, sifatnya teknis mengatur lebih rinci
bagaimana undang-undang dilaksanakan. PP tidak boleh bertentangan dengan UU dan
UUD '45.
©
PERDA ( Peraturan Daerah )
Aturan hukum produk daerah yang dibuat
berdasarkan peraturan perundangan diatasnya (UU, PP) yang mengatur
hal-hal teknis di daerah dan tidak diatur secara rinci pada peraturan perundangan
atau PP.
![*](file:///C:/Users/ACER/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
1) Setiap
keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat atau lingkungan jabatan yang
berwenang yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat atau mengikat umum,
2) Merupakan
aturan-aturan tingkah laku yang berisi ketentuan-ketentuan mengenai hak,
kewajiban, fungsi, dan status atau suatu tatanan,
3) Merupakan
peraturan yang mempunyai ciri-ciri umum-abstrak atau abstrak-umum, artinya
tidak mengatur atau tidak ditujukan pada obyek, peristiwa atau gejala konkret
tertentu,
4) Dengan
mengambil pemahaman dalam kepustakaan Belanda, peraturan perundang-undangan
lazim disebut dengan wet in materiёle
zin atau sering juga disebut dengan algemeen verbindende voorschrift.
B. Susunan
Hierarki Perundang –
Undangan
© UUD 1945
UUD 1945 merupakan hukum dasar
dalam Peraturan Perundang-undangan. Pasal 33 ayat 4 menjelaskan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan
berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi,
berkeadilan, berkelanjutan, wawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan dan kemajuan ekonomi nasional. Ayat
tersebut mencantumkan “berwawasan lingkungan” yang berarti bahwa pembangunan
nasional harus memerhatikan lingkungannya yang dalam hal ini merupakan hutan.
©
Ketetapan MPR RI
Ketetapan MPR XI tahun 2001 tentang berisi tentang
pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam. Tap MPR tersebut
menjelaskan tentang prinsip dan arah dari ketetapan itu sendiri yang mempunyai
tujuan memberikan nilai tambah dari sumberdaya alam tersebut dengan prinsip memelihara dan mempertahankan
keutuhan NKRI dan masyarakat sejahtera dengna kualitas sumberdaya manusia yang meningkat.
© Undang-undang
Undang-Undang 41 tahun 1999 tentang kehutanan, undang-undang
5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya,
undang undang 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup, dan undang undang 26 tahun 2007 tentang penataan ruang. Undang - undang
kehutanan merupakan pokok perundangan-undangan untuk kehutanan sampai saat ini,
namun apabila tanpa di tunjang dengan kebijakan yang lain UU tersebut kurang
kokoh, dengan ditunjangnya melalui Undang-Undang 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya tidak hanya hutan itu sendiri
melainkan satwa dan tumbuhan langka serta ekositemnya dapat ternaungi payung
hukum yang valid. Kemudian dengan adanya Undang Undang 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup, hutan yang notabene merupakan
lingkungan hidup mesti ada perlindungan dan pengelolaan agar dapat lestari dan
meningkatkan kualitas lingkungan hidup itu sendiri. Kesinambungan Undang Undang 26 Tahun 2007 tentang
penataan ruang dalam hal kehutanan dapat dilihat dari penataan ruang
dan pola ruang yang diperuntukkan ruang hutan.
©
Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
Perpu
yang tertera yaitu peraturan penambahan yang menambahan kan perizinan
penambangan pada kawasan hutan yang telah ada sebelum berlakunya undang-undang
tentang kehutanan pada Pasal 83A.
©
Peraturan pemerintah
Peraturan pemerintah yang terkait kehutanan yaitu PP 6/2007 tentang tata hutan dan
penyusunan rencana pengelolaan hutan serta pemamfaatan hutan pasal 84, 83 ayat
1. Peraturan pemerintah ini
menjelaskan bahwa setiap kegiatan yang melibatkan hutan dan pengelolaannya
diharuskan terlebih dahulu melakukan penyusunan rencana tentang kegiatan
tersebut. Kemudian pada PP 44 tahun 2004 pasal 4 menjelaskan bahwa
pelaksanaan perencanaan hutan secara transparan, partisipatif, terpadu dengan
mempertimbangkan segala aspek, dan memerhatikan kekhasan dan kearifan
masyarakat sekitar. Lalu PP 24 tahun 2010 pada pasal 4 menerangkan bahwa
penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan
kehutanan hanya dapat dilakukan untuk kegiatan yang strategis yang tidak dapat
dielakkan. Dari ketiga peraturan pemerintah tersebut terlihat sinergis dimana
pemerintah dalam mengelola hutan terlebih dahulu melakukan penyusunan rencana
tentang hal tersebut baik dalam kegiatan kehutanan ataupun diluarnya yang
dilakukan dengan transparan dan partisipatif.
© Peraturan Presiden ( Perpres )
Peraturan presiden dalam bidang kehutanan saat ini belum
diketahui dengan pasti ada atau tidaknya peraturan tersebut.
©
Peraturan daerah
(Perda)
Perda provinsi lampung no 1 tahun 2010 tentang tentang
rencana tata ruang wilayah provinsi lampung dan Perda provinsi lampung no. 3 tahun 2006 tentang pengelolaan sumber daya
alam dan lingkungan hidup lebih mengarah pada turunan pada
tingkat Undang-undang, hanya saja pada peraturan daerah sendiri provinsi
lampung sudah megaturnya secara otonom.
C.
Perundang
– undangan Kehutanan
Hierarki hukum kehutanan terdiri atas 3 kata yaitu :
Hierarki : Tingkatan dari atas sampai bawah membentuk suatu kesatuan.
Hukum : Ilmu pengetahuan, keputusan dalam membentuk perundan – undangan.
Kehutanan : Sistem kepengurusan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan secara
terpadu.
Tertuang dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 4
UNDANG – UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 41 TAHUN 1999
TENTANG KEHUTANAN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian 1 ( Pengertian
)
Pasal 1
Dalam
undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Kehutanan adalah sistem pengurusan
yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan
hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu.
2. Hutan adalah suatu kesatuan
ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi
pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak
dapat dipisahkan.
3. Kawasan hutan adalah wilayah
tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan
keberadaannya sebagai hutan tetap.
4. Hutan negara adalah hutan yang
berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah.
5. Hutan hak adalah hutan yang berada
pada tanah yang dibebani hak atas tanah.
6. Hutan adat adalah hutan negara yang
berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.
7. Hutan produksi adalah kawasan hutan
yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan.
8. Hutan lindung adalah kawasan hutan
yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan
untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi
air laut, dan memelihara kesuburan tanah.
9. Hutan konservasi adalah kawasan
hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan
keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.
10. Kawasan hutan suaka alam adalah
hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan
pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang juga
berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan.
11. Kawasan hutan pelestarian alam
adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok
perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa,
serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
12. Taman buru adalah kawasan hutan yang
di tetapkan sebagai tempat wisata berburu.
13. Hasil hutan adalah benda-benda
hayati, nonhayati dan turunannya, serta jasa yang berasal dari hutan.
14. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.
15. Menteri adalah menteri yang diserahi
tugas dan bertanggung jawab di bidang kehutanan.
Bagian 2 ( Asas dan
Tujuan )
Pasal
2
Penyelenggaraan
kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan,
keterbukaan, dan keterpaduan.
Pasal
3
Penyelenggaraan
kehutanan bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan
berkelanjutan dengan:
a. menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang
cukup dan sebaran yang proporsional;
b. mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang
meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai
manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari;
c. meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai;
d. meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan
kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan
berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi
serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal; dan
e. menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan
dan berkelanjutan.
Bagian 3 ( Penguasaan Hutan )
Pasal 4
(1) Semua
hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat.
(2)
Penguasaan hutan oleh Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberi
wewenang kepada pemerintah untuk:
a.
mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan,
kawasan hutan, dan hasil hutan;
b. menetapkan status wilayah
tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan;
dan
c. mengatur
dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta
mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan.
(3)
Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat,
sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional.
BAB
II
STATUS DAN
FUNGSI HUTAN
Pasal 5
(1) Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari:
a. hutan negara, dan
b. hutan hak.
(2) Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, dapat berupa hutan adat.
(3) Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut
kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui
keberadaannya.
(4)
Apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada
lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada Pemerintah.
Pasal
6
(1)
Hutan mempunyai tiga fungsi, yaitu:
a. fungsi konservasi,
b. fungsi lindung, dan
c. fungsi produksi.
(2)
Pemerintah menetapkan hutan
berdasarkan fungsi pokok sebagai berikut:
a. hutan konservasi,
b. hutan lindung, dan
c. hutan produksi.
Pasal
7
Hutan
konservasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf a terdiri dari:
a. kawasan hutan suaka alam,
b. kawasan hutan pelestarian alam,
dan
c. taman buru.
Pasal
8
(1)
Pemerintah dapat menetapkan kawasan
hutan tertentu untuk tujuan khusus.
(2) Penetapan kawasan hutan dengan tujuan
khusus, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperlukan untuk kepentingan umum
seperti:
a. penelitian dan pengembangan,
b. pendidikan dan latihan, dan
c. religi dan budaya.
(3) Kawasan hutan dengan tujuan khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak mengubah fungsi pokok kawasan hutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.
Pasal 9
(1) Untuk kepentingan pengaturan iklim mikro,
estetika, dan resapan air, di setiap kota ditetapkan kawasan tertentu sebagai
hutan kota.
(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB
III
PENGURUSAN HUTAN
Pasal 10
(1) Untuk kepentingan pengaturan iklim mikro,
estetika, dan resapan air, di setiap kota ditetapkan kawasan tertentu sebagai
hutan kota.
(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB
IV
PERENCANAAN KEHUTANAN
Bagian 1 ( Umum )
Pasal 11
(1)
Perencanaan kehutanan dimaksudkan untuk memberikan pedoman dan arah yang
menjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan kehutanan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3.
(2) Perencanaan kehutanan dilaksanakan secara
transparan, bertanggung-gugat, partisipatif, terpadu, serta memperhatikan
kekhasan dan aspirasi daerah.
Pasal 12
Perencanaan
kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf a, meliputi:
a.
inventarisasi hutan,
b. pengukuhan kawasan
hutan,
c. penatagunaan
kawasan hutan,
d. pembentukan
wilayah pengelolaan hutan, dan
e.
penyusunan rencana kehutanan.
Bagian 2 ( Inventarisasi Hutan )
Pasal
13
(1) Inventarisasi hutan dilaksanakan untuk
mengetahui dan memperoleh data dan informasi tentang sumber daya, potensi
kekayaan alam hutan, serta lingkungannya secara lengkap.
(2) Inventarisasi hutan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dengan survei mengenai status dan keadaan fisik hutan, flora
dan fauna, sumber daya manusia, serta kondisi sosial masyarakat di dalam dan di
sekitar hutan.
(3) Inventarisasi hutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) terdiri dari:
a. inventarisasi hutan tingkat nasional,
b. inventarisasi hutan tingkat
wilayah,
c. inventarisasi hutan tingkat
daerah aliran sungai, dan
d. inventarisasi hutan tingkat unit
pengelolaan.
(4) Hasil inventarisasi hutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) antara lain dipergunakan sebagai
dasar pengukuhan kawasan hutan, penyusunan neraca sumber daya hutan, penyusunan
rencana kehutanan, dan sistem informasi kehutanan.
(5) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian 3 ( Pengukuhan Kawasan
Hutan )
Pasal 14
(1) Berdasarkan inventarisasi hutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13, pemerintah menyelenggarakan pengukuhan kawasan hutan.
(2) Kegiatan pengukuhan kawasan hutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dilakukan untuk memberikan kepastian hukum atas kawasan
hutan.
Pasal 15
(1) Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan melalui proses sebagai berikut:
a. penunjukan kawasan hutan,
b. penataan batas kawasan hutan,
c. pemetaan kawasan hutan, dan
d. penetapan kawasan hutan.
(2) Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah.
Bagian 4 ( Penatagunaan Kawasan
Hutan )
Pasal 16
(1) Berdasarkan hasil pengukuhan kawasan hutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan Pasal 15, pemerintah menyelenggarakan
penatagunaan kawasan hutan.
(2) Penatagunaan kawasan hutan meliputi kegiatan
penetapan fungsi dan penggunaan kawasan hutan.
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian 5 ( Pembentukan Wilayah
Pengelolaan Hutan )
Pasal 17
(1) Pembentukan wilayah pengelolaan hutan
dilaksanakan untuk tingkat:
a. propinsi,
b. kabupaten/kota, dan
c. unit pengelolaan.
(2) Pembentukan wilayah pengelolaan hutan
tingkat unit pengelolaan dilaksanakan dengan mempertimbangkan karakteristik
lahan, tipe hutan, fungsi hutan, kondisi daerah aliran sungai, sosial budaya,
ekonomi, kelembagaan masyarakat setempat termasuk masyarakat hukum adat dan
batas administrasi pemerintahan.
(3) Pembentukan unit pengelolaan hutan yang
melampaui batas administrasi pemerintahan karena kondisi dan karakteristik
serta tipe hutan, penetapannya diatur secara khusus oleh Menteri.
Pasal 18
(1) Pemerintah menetapkan dan mempertahankan
kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap daerah aliran
sungai, dan atau pulau guna optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial,
dan manfaat ekonomi masyarakat setempat.
(2) Luas kawasan hutan yang harus dipertahankan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal 30% (tiga puluh persen) dari luas
daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional.
Pasal 19
(1) Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan
hutan ditetapkan oleh Pemerintah dengan didasarkan pada hasil penelitian
terpadu.
(2) Perubahan peruntukan kawasan hutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berdampak penting dan cakupan yang luas
serta bernilai strategis, ditetapkan oleh Pemerintah dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat.
(3) Ketentuan tentang tata cara perubahan peruntukan
kawasan hutan dan perubahan fungsi kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian
6 ( Penyusunan Rencana Kehutanan )
Pasal 20
(1) Berdasarkan hasil inventarisasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13, dan dengan mempertimbangkan faktor-faktor lingkungan
dan kondisi sosial masyarakat, pemerintah menyusun rencana kehutanan.
(2) Rencana kehutanan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disusun menurut jangka waktu perencanaan, skala geografis, dan menurut
fungsi pokok kawasan hutan.
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB
V
PENGELOLAAN HUTAN
Bagian
1 ( Umum )
Pasal 21
Pengelolaan hutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf b, meliputi kegiatan:
a. tata hutan dan penyusunan rencana
pengelolaan hutan,
b. pemanfaatan hutan dan penggunaan
kawasan hutan,
c. rehabilitasi dan reklamasi hutan,
dan
d. perlindungan hutan dan konservasi
alam.
Bagian
2 ( Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan )
Pasal 22
(1) Tata
hutan dilaksanakan dalam rangka pengelolaan kawasan hutan yang lebih intensif
untuk memperoleh manfaat yang lebih optimal dan lestari.
(2) Tata
hutan meliputi pembagian kawasan hutan dalam blok-blok berdasarkan ekosistem,
tipe, fungsi dan rencana pemanfaatan hutan.
(3) Blok-blok
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibagi pada petak-petak berdasarkan
intensitas dan efisiensi pengelolaan.
(4) Berdasarkan
blok dan petak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), disusun rencana
pengelolaan hutan untuk jangka waktu tertentu.
(5) Ketentuan
lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian
3 ( Pemanfaatan Hutan dan
Penggunaan Kawasan Hutan )
Pasal 23
Pemanfaatan
hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b, bertujuan untuk memperoleh
manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan
dengan tetap menjaga kelestariannya.
Pasal
24
Pemanfaatan
kawasan hutan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali pada hutan cagar
alam serta zona inti dan zona rimba pada taman nasional.
Pasal
25
Pemanfaatan
kawasan hutan pelestarian alam dan kawasan hutan suaka alam serta taman buru
diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal
26
(1) Pemanfaatan hutan lindung dapat berupa
pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan
bukan kayu.
(2)
Pemanfaatan hutan lindung dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan
kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, dan izin pemungutan hasil
hutan bukan kayu.
Pasal 27
(1) Izin
usaha pemanfaatan kawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) dapat
diberikan kepada:
a. perorangan,
b. koperasi.
(2) Izin
usaha pemanfaatan jasa lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2),
dapat diberikan kepada:
a. perorangan,
b. koperasi,
c. badan usaha milik swasta Indonesia,
d. badan usaha milik negara atau badan
usaha milik daerah.
(3) Izin
pemungutan hasil hutan bukan kayu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2),
dapat diberikan kepada:
a. perorangan,
b. koperasi.
Pasal 28
(1) Pemanfaatan hutan produksi dapat berupa
pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu
dan bukan kayu, serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu.
(2) Pemanfaatan hutan produksi dilaksanakan melalui
pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa
lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu, izin usaha pemanfaatan
hasil hutan bukan kayu, izin pemungutan hasil hutan kayu, dan izin pemungutan
hasil hutan bukan kayu.
Pasal 29
(1) Izin
usaha pemanfaatan kawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dapat
diberikan kepada:
a. perorangan,
b. koperasi.
(2) Izin
usaha pemanfaatan jasa lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2)
dapat diberikan kepada:
a. perorangan,
b. koperasi,
c. badan usaha milik swasta Indonesia,
d. badan usaha milik negara atau
badan usaha milik daerah.
(3) Izin
usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
ayat (2) dapat diberikan kepada:
a. perorangan,
b. koperasi,
c. badan usaha milik swasta Indonesia,
d. badan usaha milik negara atau badan
usaha milik daerah.
(4) Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dapat diberikan kepada:
a. perorangan,
b. koperasi,
c. badan usaha milik swasta Indonesia,
d. badan usaha milik negara atau badan
usaha milik daerah.
(5) Izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dapat diberikan kepada:
a. perorangan,
b. koperasi.
Pasal
30
Dalam
rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat, setiap badan usaha milik negara, badan
usaha milik daerah, dan badan usaha milik swasta Indonesia yang memperoleh izin
usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan
bukan kayu, diwajibkan bekerja sama dengan koperasi masyarakat setempat.
Pasal
31
(1) Untuk menjamin asas keadilan, pemerataan, dan
lestari, maka izin usaha pemanfaatan hutan dibatasi dengan mempertimbangkan
aspek kelestarian hutan dan aspek kepastian usaha.
(2) Pembatasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 32
Pemegang
izin sebagaimana diatur dalam Pasal 27 dan Pasal 29 berkewajiban untuk menjaga,
memelihara, dan melestarikan hutan tempat usahanya.
Pasal
33
(1) Usaha pemanfaatan hasil hutan meliputi kegiatan
penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengolahan, dan pemasaran hasil hutan.
(2) Pemanenan dan pengolahan hasil hutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh melebihi daya dukung hutan
secara lestari.
(3) Pengaturan, pembinaan dan pengembangan
pengolahan hasil hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur oleh Menteri.
Pasal 34
Pengelolaan
kawasan hutan untuk tujuan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dapat diberikan kepada:
a.
masyarakat hukum adat,
b. lembaga
pendidikan,
c. lembaga
penelitian,
d. lembaga
sosial dan keagamaan.
Pasal 35
(1) Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan hutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 29, dikenakan iuran izin usaha,
provisi, dana reboisasi, dan dana jaminan kinerja.
(2) Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan hutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 29 wajib menyediakan dana
investasi untuk biaya pelestarian hutan.
(3) Setiap pemegang izin pemungutan hasil hutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 29 hanya dikenakan provisi.
(4) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 36
(1) Pemanfaatan hutan hak dilakukan oleh pemegang hak atas tanah
yang bersangkutan,
sesuai
dengan fungsinya.
(2) Pemanfaatan hutan hak yang berfungsi lindung dan konservasi dapat
dilakukan
sepanjang
tidak mengganggu fungsinya.
Pasal 37
(1) Pemanfaatan hutan adat dilakukan oleh masyarakat hukum adat
yang bersangkutan,
sesuai
dengan fungsinya.
(2) Pemanfaatan hutan adat yang berfungsi lindung dan konservasi
dapat dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsinya.
Pasal 38
(1) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar
kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan
kawasan hutan lindung.
(2) Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan.
(3) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan
dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri dengan
mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian
lingkungan.
(4) Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan
dengan pola pertambangan terbuka.
(5) Pemberian izin pinjam pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis dilakukan
oleh Menteri atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 39
Ketentuan pelaksanaan tentang pemanfaatan hutan dan penggunaan
kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27, Pasal 29, Pasal 34, Pasal
36, Pasal 37, dan Pasal 38 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian 4 ( Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan )
Pasal 40
Rehabilitasi hutan dan lahan dimaksudkan untuk memulihkan,
mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung,
produktivitas, dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap
terjaga.
Pasal 41
(1)
Rehabilitasi hutan dan lahan diselenggarakan melalui kegiatan:
a.
reboisasi,
b.
penghijauan,
c.
pemeliharaan,
d.
pengayaan tanaman, atau
e. penerapan teknik konservasi tanah secara vegetatif dan sipil
teknis, pada lahan kritis dan tidak produktif.
(2) Kegiatan rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan di semua hutan dan kawasan hutan kecuali cagar alam dan zona inti
taman nasional.
Pasal 42
(1) Rehabilitasi hutan dan lahan dilaksanakan berdasarkan kondisi
spesifik biofisik.
(2) Penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan diutamakan
pelaksanaannya melalui pendekatan partisipatif dalam rangka mengembangkan
potensi dan memberdayakan masyarakat.
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 43
(1) Setiap
orang yang memiliki, mengelola, dan atau memanfaatkan hutan yang kritis atau
tidak produktif, wajib melaksanakan rehabilitasi hutan untuk tujuan
perlindungan dan konservasi.
(2) Dalam
pelaksanaan rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap orang dapat
meminta pendampingan, pelayanan dan dukungan kepada lembaga swadaya masyarakat,
pihak lain atau pemerintah.
Pasal 44
(1) Reklamasi hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf c,
meliputi usaha untuk memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan vegetasi
hutan yang rusak agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan
peruntukannya.
(2) Kegiatan reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
inventarisasi lokasi, penetapan lokasi, perencanaan, dan pelaksanaan reklamasi.
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 45
(1) Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38
ayat (1) yang mengakibatkan kerusakan hutan, wajib dilakukan reklamasi dan atau
rehabilitasi sesuai dengan pola yang ditetapkan pemerintah.
(2) Reklamasi pada kawasan hutan bekas areal pertambangan, wajib
dilaksanakan oleh pemegang izin
pertambangan sesuai dengan tahapan kegiatan pertambangan.
(3) Pihak-pihak yang
menggunakan kawasan hutan untuk kepentingan di luar kegiatan kehutanan yang
mengakibatkan perubahan permukaan dan penutupan tanah, wajib membayar dana
jaminan reklamasi dan rehabilitasi.
(4) Ketentuan lebih lanjut
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian 5 ( Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam )
Pasal 46
Penyelenggaraan perlindungan hutan dan konservasi alam bertujuan
menjaga hutan, kawasan hutan dan lingkungannya, agar fungsi lindung, fungsi
konservasi, dan fungsi produksi, tercapai secara optimal dan lestari.
Pasal 47
Perlindungan hutan dan kawasan hutan merupakan usaha untuk:
a. mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan, dan
hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran,
daya-daya alam, hama, serta penyakit; dan
b. mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan
perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat
yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.
Pasal 48
(1) Pemerintah mengatur perlindungan hutan, baik di dalam maupun
di luar kawasan hutan.
(2) Perlindungan hutan pada hutan negara dilaksanakan oleh
pemerintah.
(3) Pemegang izin usaha pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 dan Pasal 29, serta pihak-pihak yang menerima wewenang
pengelolaan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, diwajibkan melindungi
hutan dalam areal kerjanya.
(4) Perlindungan hutan pada hutan hak dilakukan oleh pemegang
haknya.
(5) Untuk menjamin pelaksanaan perlindungan hutan yang
sebaik-baiknya, masyarakat diikutsertakan dalam upaya perlindungan hutan.
(6) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 49
Pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran
hutan di areal kerjanya.
Pasal 50
(1) Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana
perlindungan hutan.
(2) Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan,
izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu
dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang
melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan.
(3) Setiap orang dilarang:
a. mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan
hutan secara tidak sah;
b. merambah kawasan hutan;
c. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius
atau jarak sampai dengan:
1.
500 (lima ratus) meter dari
tepi waduk atau danau;
2.
200 (dua ratus) meter dari
tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa;
3.
100 (seratus) meter dari
kiri kanan tepi sungai;
4.
50 (lima puluh) meter dari
kiri kanan tepi anak sungai;
5.
2 (dua) kali kedalaman jurang
dari tepi jurang;
6.
130 (seratus tiga puluh)
kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai.
d. membakar hutan;
e. menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam
hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang;
f. menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima
titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga
berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah;
g. melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau
eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin Menteri;
h. mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak
dilengkapi bersamasama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan;
i. menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak
ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang;
j. membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim
atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan
hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang;
k. membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang,
memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang
berwenang;
l. membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan
kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam
kawasan hutan; dan
m. mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa
liar yang tidak dilindungi undang-undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa
izin dari pejabat yang berwenang.
(4) Ketentuan tentang mengeluarkan, membawa, dan atau mengangkut
tumbuhan dan atau
satwa yang
dilindungi, diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 51
(1) Untuk menjamin terselenggaranya perlindungan hutan, maka kepada
pejabat kehutanan
tertentu sesuai dengan sifat pekerjaannya diberikan wewenang
kepolisian khusus.
(2) Pejabat yang diberi wewenang kepolisian khusus sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
berwenang untuk:
a. mengadakan patroli/perondaan di dalam kawasan hutan atau
wilayah hukumnya;
b. memeriksa surat-surat atau dokumen yang berkaitan dengan
pengangkutan hasil
hutan di dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya;
c. menerima laporan tentang telah terjadinya tindak pidana yang
menyangkut hutan,
kawasan hutan, dan hasil hutan;
d. mencari keterangan dan barang bukti terjadinya tindak pidana
yang menyangkut
hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
e. dalam hal tertangkap tangan, wajib menangkap tersangka untuk
diserahkan kepada
yang berwenang; dan
f. membuat laporan dan menandatangani laporan tentang terjadinya
tindak pidana
yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.
BAB VI
PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN, PENDIDIKAN DAN
LATIHAN SERTA PENYULUHAN KEHUTANAN
Bagian 1 ( Umum )
Pasal 52
(1) Dalam pengurusan hutan secara lestari, diperlukan sumber daya
manusia berkualitas yang bercirikan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang didasari dengan iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, melalui
penyelenggaraan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta
penyuluhan kehutanan yang berkesinambungan.
(2) Dalam penyelenggaraan penelitian dan pengembangan, pendidikan
dan latihan serta penyuluhan kehutanan, wajib memperhatikan ilmu pengetahuan
dan teknologi, kearifan tradisional serta kondisi sosial budaya masyarakat.
(3) Dalam penyelenggaraan penelitian dan pengembangan, pendidikan
dan latihan, serta penyuluhan kehutanan, pemerintah wajib menjaga kekayaan
plasma nutfah khas Indonesia dari pencurian.
Bagian 2 ( Penelitian dan Pengembangan Kehutanan )
Pasal 53
(1) Penelitian dan pengembangan kehutanan dimaksudkan untuk
mengembangkan kemampuan nasional serta budaya ilmu pengetahuan dan teknologi
dalam pengurusan hutan.
(2) Penelitian dan pengembangan kehutanan bertujuan untuk
meningkatkan kemampuan pengurusan hutan dalam mewujudkan pengelolaan hutan
secara lestari dan peningkatan nilai tambah hasil hutan.
(3) Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan kehutanan
dilakukan oleh pemerintah dan dapat bekerjasama dengan perguruan tinggi, dunia
usaha, dan masyarakat.
(4) Pemerintah mendorong dan menciptakan kondisi yang mendukung
peningkatan kemampuan untuk menguasai, mengembangkan, dan memanfaatkan ilmu
pengetahuan dan teknologi kehutanan.
Pasal 54
(1) Pemerintah bersama-sama dengan dunia usaha dan masyarakat
mempublikasikan hasil penelitian dan pengembangan kehutanan serta mengembangkan
sistem informasi dan pelayanan hasil penelitian dan pengembangan kehutanan.
(2) Pemerintah wajib melindungi hasil penemuan ilmu pengetahuan
dan teknologi di bidang kehutanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
(3) Izin melakukan penelitian kehutanan di Indonesia dapat
diberikan kepada peneliti asing dengan mengacu kepada peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Bagian 3 ( Pendidikan dan Latihan Kehutanan )
Pasal 55
(1) Pendidikan dan latihan kehutanan dimaksudkan untuk
mengembangkan dan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia kehutanan yang
terampil, profesional, berdedikasi, jujur serta amanah dan berakhlak mulia.
(2) Pendidikan dan latihan kehutanan bertujuan untuk membentuk
sumber daya manusia yang menguasai serta mampu memanfaatkan dan mengembangkan
ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pengurusan hutan secara adil dan lestari,
didasari iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
(3) Penyelenggaraan pendidikan dan latihan kehutanan dilakukan
oleh pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat.
(4) Pemerintah mendorong dan menciptakan kondisi yang mendukung
terselengaranya pendidikan dan latihan kehutanan, dalam rangka meningkatkan
kuantitas dan kualitas sumber daya manusia.
Bagian 4 ( Penyuluhan Kehutanan )
Pasal 56
(1) Penyuluhan kehutanan bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan
dan ketrampilan serta mengubah sikap dan perilaku masyarakat agar mau dan mampu
mendukung pembangunan kehutanan atas dasar iman dan taqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa serta sadar akan pentingnya sumber daya hutan bagi kehidupan manusia.
(2) Penyelenggaraan penyuluhan kehutanan dilakukan oleh
pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat.
(3) Pemerintah mendorong dan menciptakan kondisi yang mendukung
terselenggaranya kegiatan penyuluhan kehutanan.
Bagian 5 ( Pendanaan dan Prasarana )
Pasal 57
(1) Dunia usaha dalam bidang kehutanan wajib menyediakan dana
investasi untuk penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan
kehutanan.
(2) Pemerintah menyediakan kawasan hutan untuk digunakan dan
mendukung kegiatan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta
penyuluhan kehutanan.
Pasal 58
Ketentuan lebih lanjut tentang penelitian dan pengembangan, pendidikan
dan latihan, serta penyuluhan kehutanan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VII
PENGAWASAN
Pasal 59
Pengawasan kehutanan dimaksudkan untuk mencermati, menelusuri, dan
menilai pelaksanaan pengurusan hutan, sehingga tujuannya dapat tercapai secara
maksimal dan sekaligus merupakan umpan balik bagi perbaikan dan atau
penyempurnaan pengurusan hutan lebih lanjut.
Pasal 60
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan pengawasan
kehutanan.
(2) Masyarakat dan atau perorangan berperan serta dalam pengawasan
kehutanan.
Pasal 61
Pemerintah berkewajiban melakukan pengawasan terhadap pengurusan
hutan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah.
Pasal 62
Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat melakukan pengawasan
terhadap pengelolaan dan atau pemanfaatan hutan yang dilakukan oleh pihak
ketiga.
Pasal 63
Dalam melaksanakan pengawasan kehutanan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 60 ayat (1), pemerintah dan pemerintah daerah berwenang melakukan
pemantauan, meminta keterangan, dan melakukan pemeriksaan atas pelaksanaan
pengurusan hutan.
Pasal 64
Pemerintah dan masyarakat melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan pengelolaan hutan yang berdampak nasional dan internasional.
Pasal 65
Ketentuan lebih lanjut tentang pengawasan kehutanan diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
PENYERAHAN KEWENANGAN
Pasal 66
(1) Dalam rangka penyelenggaraan kehutanan, pemerintah menyerahkan
sebagian kewenangan kepada pemerintah daerah.
(2) Pelaksanaan penyerahan sebagian kewenangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk meningkatkan efektifitas pengurusan
hutan dalam rangka pengembangan otonomi daerah.
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IX
MASYARAKAT HUKUM ADAT
Pasal 67
(1) Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada
dan diakui keberadaannya berhak:
a. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan
hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan;
b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat
yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan
c. mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan
kesejahteraannya.
(2) Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB X
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 68
(1) Masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan
hutan.
(2) Selain hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masyarakat
dapat:
a. memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
b. mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan,
dan informasi kehutanan;
c. memberi informasi, saran, serta pertimbangan dalam pembangunan
kehutanan; dan
d. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan
baik langsung maupun tidak langsung.
(3) Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan berhak memperoleh
kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan
kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat penetapan kawasan hutan, sesuai
dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
(4) Setiap orang berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak
atas tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 69
(1) Masyarakat berkewajiban untuk ikut serta memelihara dan
menjaga kawasan hutan dari
gangguan dan perusakan.
(2) Dalam melaksanakan rehabilitasi hutan, masyarakat dapat
meminta pendampingan, pelayanan, dan dukungan kepada lembaga swadaya
masyarakat, pihak lain, atau pemerintah.
Pasal 70
(1) Masyarakat turut berperan serta dalam pembangunan di bidang
kehutanan.
(2) Pemerintah wajib mendorong peran serta masyarakat melalui
berbagai kegiatan di bidang kehutanan yang berdaya guna dan berhasil guna.
(3) Dalam rangka meningkatkan peran serta masyarakat pemerintah
dan pemerintah daerah dapat dibantu oleh forum pemerhati kehutanan.
(4) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XI
GUGATAN PERWAKILAN
Pasal 71
(1) Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan
dan atau melaporkan ke penegak hukum terhadap kerusakan hutan yang merugikan
kehidupan masyarakat.
(2) Hak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terbatas pada tuntutan terhadap pengelolaan hutan yang tidak sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 72
Jika diketahui bahwa masyarakat menderita akibat pencemaran dan
atau kerusakan hutan sedemikian rupa sehingga mempengaruhi kehidupan
masyarakat, maka instansi pemerintah atau instansi pemerintah daerah yang
bertanggung jawab di bidang kehutanan dapat bertindak untuk kepentingan
masyarakat.
Pasal 73
(1) Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab pengelolaan hutan,
organisasi bidang kehutanan berhak mengajukan gugatan perwakilan untuk
kepentingan pelestarian fungsi hutan.
(2) Organisasi bidang kehutanan yang berhak mengajukan gugatan
sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan:
a. berbentuk badan hukum;
b. organisasi tersebut dalam anggaran dasarnya dengan tegas
menyebutkan tujuan didirikannya organisasi untuk kepentingan pelestarian fungsi
hutan; dan
c. telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.
BAB XII
PENYELESAIAN SENGKETA KEHUTANAN
Pasal 74
(1) Penyelesaian sengketa kehutanan dapat ditempuh melalui
pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para
pihak yang bersengketa.
(2) Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa kehutanan di
luar pengadilan, maka gugatan melalui pengadilan dapat dilakukan setelah tidak
tercapai kesepakatan antara para pihak yang bersengketa.
Pasal 75
(1) Penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan tidak
berlaku terhadap tindak pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
(2) Penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan dimaksudkan
untuk mencapai kesepakatan mengenai pengembalian suatu hak, besarnya
ganti-rugi, dan atau mengenai bentuk tindakan tertentu yang harus dilakukan
untuk memulihkan fungsi hutan.
(3) Dalam penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat digunakan jasa pihak ketiga yang
ditunjuk bersama oleh para pihak dan atau pendampingan organisasi nonpemerintah
untuk membantu penyelesaian sengketa kehutanan.
Pasal 76
(1) Penyelesaian sengketa kehutanan melalui pengadilan dimaksudkan
untuk memperoleh putusan mengenai pengembalian suatu hak, besarnya ganti rugi,
dan atau tindakan tertentu yang harus dilakukan oleh pihak yang kalah dalam
sengketa.
(2) Selain putusan untuk melakukan tindakan tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), pengadilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa atas
keterlambatan pelaksanaan tindakan tertentu tersebut setiap hari.
BAB XIII
PENYIDIKAN
Pasal 77
(1) Selain pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia,
pejabat pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya
meliputi pengurusan hutan, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana
dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
(2) Pejabat penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), berwenang untuk:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan
yang berkenaan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan
hasil hutan;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan
tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
c. memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalam kawasan
hutan atau wilayah hukumnya;
d. melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak
pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
e. meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum
sehubungan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil
hutan;
f. menangkap dan menahan dalam koordinasi dan pengawasan penyidik
Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana;
g. membuat dan menanda-tangani berita acara;
h. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti
tentang adanya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil
hutan.
(3) Pejabat penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyerahkan hasil
penyidikannya kepada penuntut umum, sesuai Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
BAB XIV
KETENTUAN PIDANA
Pasal 78
(1) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) atau Pasal 50 ayat (2), diancam dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00
(lima milyar rupiah).
(2) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf a, huruf b, atau huruf c, diancam dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.
5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(3) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam dengan pidana penjara paling
lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima
milyar rupiah).
(4) Barang siapa karena kelalaiannya melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,00
(satu milyar lima ratus juta rupiah).
(5) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf e atau huruf f, diancam dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.
5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(6) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 ayat (4) atau Pasal 50 ayat (3) huruf g, diancam dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.
5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(7) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf h, diancam dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh
milyar rupiah).
(8) Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 50 ayat (3) huruf i, diancam dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) bulan dan denda paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(9) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf j, diancam dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar
rupiah).
(10) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf k, diancam dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah).
(11) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf l, diancam dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah).
(12) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf m, diancam dengan pidana penjara paling
lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah).
(13) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (9), ayat (10), dan ayat
(11) adalah kejahatan, dan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dan
ayat (12) adalah pelanggaran.
(14) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) apabila dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum
atau badan usaha, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya,
baik sendiri-sendiri maupun bersamasama, dikenakan pidana sesuai dengan ancaman
pidana masing-masing ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana yang
dijatuhkan.
(15) Semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan
atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan
kejahatan dan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal ini dirampas
untuk Negara.
Pasal 79
(1) Kekayaan negara berupa hasil hutan dan barang lainnya baik
berupa temuan dan atau rampasan dari hasil kejahatan atau pelanggaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 dilelang untuk Negara.
(2) Bagi pihak-pihak yang berjasa dalam upaya penyelamatan
kekayaan Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan insentif yang
disisihkan dari hasil lelang yang dimaksud.
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur oleh Menteri.
BAB XV
GANTI RUGI DAN SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 80
(1) Setiap perbuatan melanggar hukum yang diatur dalam
undang-undang ini, dengan tidak mengurangi sanksi pidana sebagaimana diatur
dalam Pasal 78, mewajibkan kepada penanggung jawab perbuatan itu untuk membayar
ganti rugi sesuai dengan tingkat kerusakan atau akibat yang ditimbulkan kepada
Negara, untuk biaya rehabilitasi, pemulihan kondisi hutan, atau tindakan lain
yang diperlukan.
(2) Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha
pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan, atau izin
pemungutan hasil hutan yang diatur dalam undang-undang ini, apabila melanggar
ketentuan di luar ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 78 dikenakan
sanksi administratif.
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan
ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XVI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 81
Kawasan hutan yang telah ditunjuk dan atau ditetapkan berdasarkan
peraturan perundangundangan yang berlaku sebelum berlakunya undang-undang ini
dinyatakan tetap berlaku berdasarkan undang-undang ini.
Pasal 82
Semua peraturan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan di
bidang kehutanan yang telah ada, sepanjang tidak bertentangan dengan
undang-undang ini, tetap berlaku sampai dengan dikeluarkannya peraturan
pelaksanaan yang berdasarkan undang-undang ini.
BAB XVII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 83
Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini maka dinyatakan tidak
berlaku:
1. Boschordonnantie Java en Madoera 1927, Staatsblad Tahun 1927
Nomor 221, sebagaimana telah diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 168,
terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1934 Nomor 63;
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2823).
Pasal 84
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar semua orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Kesimpulan
1. Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah
sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah.
2. Hierarki adalah penjenjangan setiap jenis
peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada
dasar bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak bisa
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Kekuatan
hukum peraturan perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarkinya.
3. Peraturan perundang-undangan merupakan peraturan bersifat
umum-abstrak, tertulis, mengikat umum, dibentuk oleh oleh lembaga atau pejabat
yang berwenang dan bersifat mengatur.
4. Peraturan perundangan-undangan adalah semua peraturan
tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau
ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur
yang telah ditetapkan. Sedangkan, undang-undang merupakan salah satu jenis dari
peraturan perundang-undangan.
B. Saran
Menurut opini saya, saya menyarankan
agar hukum di Indonesia yang sesuai dengan undang – undang harusnya di taati
dan di patuhi oleh kalangan lapisan atas maupun bawah. Segala pedoman Negara
Republik Indonesia mulai dari Pancasila, UUD 45, Perpu, PP, Pemda dll.
Merupakan norma atau aturan Negara demi aman, sejahtera dan damai Nusantara
ini. Contoh pada Perundang – undangan tentang Kehutanan, yang mana wajib di
taati dan tidak boleh dilanggar jikalau dilanggar maka akan dikenakan sanksi
atau hukuman sesuai pasal yang terkait. Hukum di Negara Indonesia sangat kacau
balau maka dari itu diperlukannya sistem adil dan jujur dalam pemerintahan
untuk mengendalikan aturan Negara yang diabaikan bahkan hanya dijadikan sebagai
hiasan semata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar